Dunia Digital
Para ilmuwan kini menyoroti fenomena yang memprihatinkan: efek kecanduan gadget pada anak-anak ternyata tak jauh berbeda dengan kecanduan drama pada orang dewasa. Lebih ironis, hasil penelitian menunjukkan bahwa justru orang dewasa—termasuk yang berpendidikan tinggi—lebih rentan dan lebih dalam terjerumus ke dalam pusaran candu digital.
Dalam berbagai kajian neurosains dan psikologi modern, baik anak-anak maupun orang dewasa menunjukkan pola neurokimia yang sama saat kecanduan layar: pelepasan dopamin yang memicu rasa senang semu, disertai penurunan fungsi kendali diri. Namun, perbedaan mencoloknya adalah anak-anak masih bisa diarahkan, sedangkan orang dewasa—terutama yang merasa "tahu"—lebih sulit diajak berubah.
“Yang paling sulit bukan mengubah yang tak tahu, tapi membangunkan yang merasa sudah paham,” ujar Dr. Ardi Wijaya, peneliti perilaku digital. “Karena semakin tinggi sekolah seseorang, terkadang semakin pintar pula ia berdalih atas kebiasaannya.”
Hikmahnya, kita diajak untuk bercermin. Anak-anak menatap layar karena diberi contoh. Mereka mengakses game atau video karena melihat orang tuanya asyik dengan drama tanpa jeda. Orang dewasa lupa, anak bukan hanya peniru, tapi juga pencatat. Apa yang dilihat hari ini, akan tumbuh menjadi pola hidup esok hari.
“Betapa ironis, kita marahi anak karena main HP, tapi lupa bahwa kita sendiri belum lepas dari candu drama Korea, sinetron, atau konten-konten tanpa arah. Bahkan di waktu makan, waktu belajar, dan waktu ibadah,” ungkap Dr. Ardi.
Yang lebih menyedihkan, kata para ilmuwan, adalah ketika orang dewasa tak lagi merasa kecanduan sebagai masalah, justru merasa itu sebagai “hak pribadi”. Padahal, kecanduan tidak mengenal status—entah pelajar, pejabat, guru, atau orang tua, semuanya bisa terjebak.
Hikmah yang dapat direnungkan:
Ilmu tinggi tak menjamin hati yang lapang untuk berubah. Justru terkadang, kepintaran membuat seseorang merasa kebal terhadap nasihat. Namun, dalam kaca dunia digital, yang paling jujur adalah anak-anak—karena mereka meniru, bukan mengada-ada.
“Anak bukan hanya perlu diatur, tapi lebih dulu butuh dituntun. Dan untuk menuntun, kita harus lebih dahulu membebaskan diri dari belenggu kita sendiri,” tutup Dr. Ardi penuh makna.