Jakarta, Celebesindo.com, - Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menolak keterlibatan militer atau TNI dalam pemberantasan terorisme di Indonesia dilibatkan menjadi pilihan terakhir.
Ia menilai skala ancaman terorisme menurun, meskipun radikalisme dan intoleransi meningkat di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan. Akan tetapi dukungan terhadap ekstrimisme dengan kekerasan sangat rendah di masyarakat Indonesia.
“Bila perlu diperjelas, yakni keterlibatan militer itu harus dibatasi pada penindakan saja, dalam konteks negara demokrasi. Karena ada dalam kesejarahannya, militer di Indonesia ini juga menjadi bagian dari aktor politik, mereka tidak semata-mata sebagai alat pertahanan kemanan semata,” kata Bonar dalam Diskusi Online bertema “Format Ideal Keterlibatan TNI dalam Penanganan Terorisme di Negara Demokrasi” yang digelar Kaukus Muda Indonesia (KMI) di Jakarta, Kamis (01/10/2020).
Penanganan terorisme itu, menurut Bonar, harus menggunakan pendekatan kriminal justice sistem, dimana militer merupakan alat pertahanan Negara sedangkan Polri merupakan institusi sipil untuk penegakan hukum. Sayangnya dalam konteks negara demokrasi, Indonesia ini termasuk aneh karena ada Komando Teritorial (Koter) dimana struktur atau jenjang komandanya paralel dengan struktur pemerintahan di sipil, yakni mulai dari pusat sampai daerah.
“Kita sudah berjuang untuk melakukan penghapusan terhadap Koter ini sejak reformasi (1999) bergulir di Indonesia, namun sampai sekarang belum berhasil. Kalau kita pelajari dari Draf Perpres tentang Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini ada 3 skup kegiatan, yakni penangkalan tindak terorisme, penindakan tindak terorisme, dan pemulihan akibat tindak terorisme,” sebut dia.
Dalam skup penindakan dan pemulihan tindak terorisme, memang diakui Bonar, ada (diatur) tentang kordinasi antara institusi TNI-Polri-BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Tetapi, dalam penangkalan tidak ada kordinasi antara TNI dan Polri.
“Ini yang tidak boleh terjadi. Memang, dalam RUU Kamnas yang sampai sekarang belum selesai disahkan oleh DPR, disitu diatur tentang dalam keadaan atau situasi seperti apa yang masuk dalam kategori tertib sipil, darurat sipil, dan darurat militer,” katanya.
Sayangnya, RUU ini tidak kunjung disahkan sampai sekarang, sehingga kita tidak mempunyai acuan secara konstitusional untuk bagaiamana pelibatan TNI yang profesional dan proporsional dalam pelibatan dalam penanganan terorisme ini, demikian Bonar Tigor Naipospos.
TNI Tak Perlu Terlibat Tangani Aksi Terorisme Berskala Kecil
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004, tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebenarnya militer dalam hal ini TNI sudah jelas kewenangannya, yaitu sebagai alat pertahanan negara. Artinya, kalau ada kelompok terorisme yang kekuatan masih kecil, misalnya hanya satu keluarga, tidak perlu TNI ikut menangani.
“Berbeda kalau misalnya, mereka sudah menjadi kekuatan yang besar seperti yang terjadi di Timur Tengah seperti ISIS dan sebagainya, barulah TNI ikut turun tangan,” kata Mohammad Eksan, Penulis buku Mencari Akar Terorisme di Indonesia dalam Diskusi Online bertema “Format Ideal Keterlibatan TNI dalam Penanganan Terorisme di Negara Demokrasi” yang digelar Kaukus Muda Indonesia (KMI) di Jakarta, Kamis (01/10/2020).
Namun menurut Eksan, semua pihak harus sepakat bahwa tindakan terorisme adalah tindakan kejahatan, tindakan kriminal, dan tindakan kejahatan terhadap kemanusian dan demokrasi. Maka apapun alasannya, aksi terorisme harus ditolak dan dilawan.
“Terorisme atau tindakan terorisme, juga ada yang dilandasi oleh pemahanan keagamaan yang salah atau menyimpang. Misalnya pemahaman mereka tentang jihad yang tidak benar,” katanya.
Indonesia, lanjut Eksan, sudah menganut demokrasi, tetapi mereka ini (terorisme) justru membunuh demokrasi itu sendiri karena mereka menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyuarakan keinginannya atau aspirasinya. Padahal kebebasan mereka sudah dijamin oleh demokrasi dalam berpendapat.
“Selain tindakan penangkalan, penindakan, dan pemulihan, yang perlu diprioritaskan oleh negara adalah bagaimana melakukan pencegahan terhadap munculnya terorisme. Salah satunya adalah bagaimana mengatasi faham radikalisme di Indonesia. Karena ini, yang menjadi salah satu akar munculnya terorisme di Indonesia,” ungkapnya.
Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya kontra radikalisasi dan deradikalisasi daripada hanya sekedar memperdebatkan tentang perlu tidaknya melibatkan TNI dalam penanganan terorisme itu, demikian Mohammad Eksan.
Potensi Gesekan Apabila TNI Terlibat Dalam Penanggulangan Terorisme
Keterlibatan TNI atau militer dalam penanganan terorisme, harus jelas dan tegas batasannya, karena potensi singgungannya dengan institusi lainnya seperti Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan lainnya) sangat besar sekali.
Demikian dikemukakan Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stainilasus Riyanta saat menjadi narasumber Diskusi Online bertema “Format Ideal Keterlibatan TNI dalam Penanganan Terorisme di Negara Demokrasi” yang digelar Kaukus Muda Indonesia (KMI) di Jakarta, Kamis (01/10/2020).
“Sebagai contoh, dalam hal penangkalan yang dilakukan dengan kegiatan pengintaian atau operasi intelijen yang bersifat bawah tangan. Ini kan potensi gesekan atau tumpang tindihnya dengan Polri dan BNPT sangat besar sekali, karena sama-sama dilakukan tertutup,” sebutnya.
Terutama dengan Polri yang selama ini jadi garda terdepan melakukan penindakan dan pencegahan. Menurut Stanislaus, potensi benturan di lapangan cukup besar antar anggota.
“Jika tidak terjadi koordinasi yang baik, termasuk koordinasi satuan intelijen masing-masing institusi. Lain halnya bila kegiatan tersebut dilakukan secara terbuka tentunya bisa saling kordinasi,” kata dia lagi.
Untuk itu, lanjut Stainilasus, dalam Perpres tentang Pelibatan TNI ini harus diatur secara detail. Misalnya kewenangannya seperti apa, kordinasinya seperti apa, dan kordinasinya seperti apa.
“Pada intinya, kalau mau lebih kuat dasar hukumnya, harus dibuat RUU khusus tentang Pelibatan TNI dalam kegiatan atau tindakan selain perang,” tutupnya. (red/rls)
Penulis: RB. Syafrudin Budiman, SIP